IDENTITAS KOTA

Konsep Identitas menurut Taylor (dalam Benwell dan Stokoe, 2006), “was unthinkable before the sixteenth century: the pre-modern. feudal era in Europe. Konsep identitas tidak terpikirkan sebelum abad keenambelas. Penggunaan kata identitas pertama kali muncul pada tahun 1570 dengan bentuk kata ‘identitie’ yang berarti kualitas atau kondisi serupa dalam hal substansi, komposisi, elemen alami, sifat, atau kualitas tertentu yang sedang dipertimbangkan; kesamaan yang absolut atau esensial;keutuhan. (dalam Benwell et al). Menurut Inn (dalam Suprayoga, 2008:2) identitas berarti sesuatu yang secara kuat menunjukkan kesamaan dan kesatuan, sehingga dapat dibedakan dari yang lainnya. Lappengard (2007) berpendapat bahwa identitas dapat digambarkan sebagai karakter pembeda dan kepribadian individu. Dengan demikian setiap individu memerlukan identitas yang dapat membedakan dirinya dengan individu lain. Sama halnya dengan individu, kota pun sebagai suatu tempat, perlu memiliki identitas yang dapat membedakan kotanya dengan kota yang lain.
Secara sempit identitas kota disamakan dengan sense of place,  dimana identitas adalah perluasan dimana seseorang dapat mengenali atau mengingat ulang suatu tempat berbeda dengan tempat lainnya secara jelas, unik atau particular khusus, yang memiliki karakter diri (Yananda & Salamah, 2014). Identitas akan mempermudah seseorang meningat kota yang dikunjunginya. Kota yang memiliki identitas yang kuat akan membentuk citra kota yang positif sehingga mudah dikenang dan menarik untuk dikunjungi.

Budiharjo dalam bukunya Arsitekrur dan Kota di Indonesia (1997) mengutip pernyataan Kevin Linch dalam buku What Time is This Place?(MIT 1972) yang menjelaskan bahwa identitas kota adalah citra mental yang terbentuk dari ritme biologis tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan waktu (sense of time), yang ditumbuhi dari dalam secara mengakar oleh aktivitas social-ekonomi-budaya masyarakat kota itu sendiri. Selanjutnya Lynch (dalam Suprayoga 2008) berargumen bahwa identitas kota adalah unik yang membedakan dengan kota lainnya. Riza ( et al, 2012) memperkuat pernyataan sebelumnya dimana identitas adalah pembedaan yang jelas dan terlihat pada pandangan pertama, sekaligus kuat karena membuat gambar di benak orang-orang meskipun belum pernah melihatnya secara langsung. Oleh karenanya identitas selalu eksklusif dan tidak dapat direproduksi. Bahkan Yaldiz et al. (2014) berpendapat bahwa identitas kota terbentuk pada akhir proses pembentukkannya. Sebuah kota yang yang memiliki identitas adalah kota yang sama dalam arti fungsional  dengan kota lainnya namun berbeda dari segi pemaknaannya.
Oktay(2006) menyatakan penentu paling signifikan suatu identitas kota yaitu konteks perkotaan lokal yang dibentuk oleh semua elemen unsur dan alam, khususnya lingkungan perkotaan yang diciptakan dari generasi ke generasi. Cheshmehzangi (2015) berpendapat bahwa identitas kota bukanlah istilah umum untuk semua tingkat urbanisme dan itu sebabnya perlu dikontekstulisasikan sesuai dengan skala yang menjadi acuannya. Oleh karena itu, Cheshmehzangi telah membagi identitas kota kedalam 4 konteks, yaitu konteks pandangan global atau Inklusif level, konteks tata kota atau makro level, konteks kerangka lingkungan atau medium level dan konteks pandangan personal atau mikro level.

Gambar 4 Berbagai tingkat identitas perkotaan: Global, Makro, Mediun, dan Mikro
Sumber : Cheshmehzangi, 2015

a.            Konteks Pandangan Global: Inklusif Level
Prospek global adalah tingkat identitas perkotaan yang paling luas, yang tumpang tindih dengan tingkat lainnya pada beberapa kesempatan. Ini adalah tingkat di mana kota atau lingkungan diakui secara global. Detail dalam desain tidak signifikan pada tingkat ini, masalah sosial minim, dan hubungan yang terbentuk dari tingkat identitas perkotaan ini sebagian besar bersifat perseptual dan visual. Pada tingkat tertentu, kita berhubungan dengan kota atau lingkungan berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh pengetahuan dan / atau citra kita. Dalam hal ini, tingkat ini dapat dianggap sebagai simbol atau / dan citra luas suatu tempat / kota.
Meski bertujuan untuk mencapai kekhasan dan mewujudkan simbolisme di panggung global, namun belum tentu membuat suatu tempat atau kota global, terutama karena simbolisme itu sendiri bukanlah fitur global. Dalam hal ini, identitas kota atau tempat perlu dikaitkan dengan setidaknya satu dari faktor fundamental "sejarah," "yang berarti", "ciri khas yang khas" dan "tujuan." Tingkat identitas urban itu sendiri dikategorikan ke dalam berbagai jenis, yang dinyatakan dalam enam kategori yang berbeda:
1.    Singularity (fisikitas-yaitu bangunan / tempat atau kumpulan bangunan / tempat): Ini dapat berhubungan dengan sejarah dan karakteristik khas kota tertentu. Ini juga dianggap sebagai "arsitektur dan identitas suatu tempat atau kota" atau klasifikasi "landmark" umum.
2.    Fungsional: Ini semata-mata didasarkan pada tujuan atau / atau makna tertentu. Fungsi itu sendiri bisa menjadi ciri khas suatu tempat atau kota.
3.    Ekonomi: Hal ini terutama terkait dengan kota atau wilayah global, yang sebagian besar dikenal sebagai sektor keuangan pusat atau kota khusus ekonomi.
4.    Perseptual (serebral atau emosional): Hal ini mengacu pada kekhasan suatu tempat atau kota berdasarkan atribut subjektif atau fiktif, yang perlu menjadi fitur yang berbeda selain bangunan atau lingkungan.
5.    Geografis (berdasarkan lansekap): Ini didasarkan pada karakteristik / ciri khas alam atau topografi suatu kota atau tempat, yang membuatnya berbeda dari lainnya
6.    Historis: Ini mengacu pada makna dan latar belakang sejarah suatu tempat, yang pada akhirnya menciptakan tingkat tambahan pada pengetahuan lokasi manusia.

b.            Konteks Tata Kota atau Makro Level
Pengaturan perkotaan atau tingkat makro adalah tingkat di mana identitas kota didefinisikan sebagai konsep untuk branding perkotaan atau industri perkotaan, dengan penekanan pada citra suatu tempat. Ini adalah skala identitas perkotaan terbesar kedua yang tumpang tindih dengan kedua tingkat pandangan global dan kerangka kerja lingkungan. Dalam tingkat khusus ini, area atau wilayah dibedakan dari daerah lain oleh ciri atau karakteristik yang khas, namun tetap berhubungan dengan bagian lainnya. Daerah atau bangunan dan kegunaan tertentu diakui melalui proses hubungan sosial dan lingkungan dengan keseluruhan pola atau pengaturan kota. Pengaturan perkotaan seringkali tidak diidentifikasi secara global namun dicap pada skala nasional atau regional.
Akibatnya, identitas kota di tingkat perkotaan sebenarnya dapat mempromosikan nilai dan persepsi baru yang dapat dipajang ke bagian kota tertentu, yang berarti bahwa hubungan antara masyarakat atau distrik yang koheren dan identitas suatu tempat didefinisikan melalui signifikansi peran dan kegunaan. Namun, untuk tingkat ini, perincian nilai-nilai sosial budaya tidak signifikan, dan tidak terbentuk hubungan berdasarkan aspek spasial atau sosial, namun berdasarkan pada kekhasan dan kemegahan. Oleh karena itu, memperdebatkan identitas kota pada tingkat makro sering dianggap sebagai "identitas lokal". 
c.           Konteks Kerangka Lingkungan atau Medium Level
Tingkat identitas urban tertentu ini sering diartikulasikan sebagai "place identity," atau identitas tempat yang mana hubungan antara masyarakat dan tempat tidak dipersonalisasi namun terbentuk dalam kerangka kerja yang komprehensif.
Dengan demikian, dalam tingkat menengah identitas perkotaan, lingkungan perkotaan dan simpul sebuah kota atau wilayah menjadi elemen penting untuk mengembangkan nilai sosial dan perilaku spasial. Akibatnya, ranah publik, ruang publik, dan alun-alun perkotaan dianggap sebagai simpul paling nyata dan sosial dari sebuah kota.
Meskipun demikian, keseluruhan pengalaman dan kejadian di lingkungan perkotaan ini tetap menjadi kepentingan vital identitas kota yang paling penting. Dalam hal ini, pentingnya tahap ini terletak pada perumusan sistem atau lingkungan yang diperluas; Oleh karena itu, lingkungan perkotaan diamati dan dianalisis melalui berbagai langkah dan dimensi. Akhirnya, kita dapat berpendapat bahwa dalam urbanisme, tingkat ini dapat dianggap sebagai tingkat identitas perkotaan yang paling penting dan efektif.
d.          Konteks Pandangan Personal atau Mikro Level
Skala pribadi atau tingkat mikro identitas kota adalah tingkat paling rendah dari semua. Pada tahap ini, identitas urban dapat bervariasi dari budaya ke budaya, lokasi ke lokasi, pengalaman ke pengalaman, dan orang ke orang. Apa yang diamati dan dirasakan selalu berbeda dari pandangan dan indra orang lain. Tingkat identitas kota ini berfokus pada kepribadian, makna, dan memori yang dimiliki suatu tempat atau kota tertentu di dalam pikiran seseorang.

Komponen Pembentuk Identitas Kota

Kota tidak lantas timbul dengan sendirinya, tetapi lahir dari proses yang panjang sebagai hasil bentukkan berbagai elemen. Dari kacamata perencanaan kota, terdapat enam tolak ukur dalam penggalian, pelestarian dan pengembangan identitas kota yang dijelaskan oleh Budihardjo (1997).
1.    Pertama adalah nilai kesejarahan, baik dalam arti sejarah perjuangan nasional, maupun sejarah perkembangan kota.
2.    Kedua, nilai arsitektural local/tradisional (rumah adat, kraton/ruamh pangeran, Kanjengan).
3.    Ketiga, nilai arkeologis berupa candi-candi, benteng Portugis, dan gua.
4.    Keempat, nilai religiositas berupa masjid Besar/Agung, Kelenteng, Katedral.
5.    Kelima, nilai kekhasan dan keunikan setempat, baik dalam kegiatan social ekonomi, maupun social budaya.
6.    Keenam, nilai keselarasan antara lingkungan buatan dengan potensi alam yang dimilikinya, seperti Condet dengan kebun buahnya, Wonosobo dengan wisata pegunungan.
Selain itu Beyhan dan Gurkan (2015) berpendapat bahwa Identitas perkotaan, sebagai insiden yang terus berubah dan dinamis, terdiri bukan hanya bangunan, jalan dan kotak, tapi juga partisipasi aktif semua individu yang tinggal di kota. Identitas sebuah kota ditentukan oleh keluaran dan kualitas asli yang dihasilkan dari interaksi individu perkotaan dengan lingkungannya. Untuk itu kompoenen masyarakat turut membentuk identitas suatu kota. Ernawati (2011) dalam penelitiannya pun mengindikasikan hal yang sama, dimana identitas suatu tempat ditentukan oleh hubungan personal antara manusia pengguna atau penghuni tempat tersebut denan lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosoal. Oleh karena itu, komponan masyarakat merupakan hal yang penting dalam pembentukan identitas kota. 

Hubungan Citra Kota dengan Identita Kota
Citra merupakan proyeksi dari identitas. Bila diiabaratkan sebagai sebuah benda, maka citra adalah bayangan benda yang terpantul dalam cermin. Citra bukanlah benda itu sendiri, melainkan pantulan dari identitas yang dimiliki. Cita yang ideal adalah citra yang dekat dengan identitas yang dimiliki sesuatu atau seseorang, menampilkan obyek tersebut secara utuh, lengkap dan tidak mengalami distorsi.(Yananda & Salamah, 2014).
Sebagaimana objek lainnya, kota juga memiliki baik identitas maupun citra. Kota dengan identitas yang kuat memiliki modal besar untuk menjadi kota dengan citra yang kuat. Sebaliknya, kota yang kekurangan identitas akam mengalami kesulitan dalam membentuk citra yang diinginkan. Pencarian identitas adala langkah pertama dalam pembentukan citra sebuah kota. Identitas adalah fondasi yang menopang pekerjaan pembangunan citra.( Yananda & Salamah, 2014)
Yananda & Salamah (2014) dalam bukunya Branding Tempat mengungkapkan kota membutuhkan citra. Citra merupakan bayangan dari identitas sehingga memiliki kaitan yang erat. Citra kota yang positif tersebut akan berdampak pada kesejahteraan penduduknya dan miningkatnya perekonomian kota.
Sebuah kota membutuhkan citra karena 2 (dua) alasan, yaitu kota sebagai entitas politik dan ekonomi. Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, kota harus mampu membuat pelaku bisnis dan investor masuk dan tertarik untuk berusaha dan menanamkan modalnya. Kota juga harus mampu menarik hati turis untuk dating berkunjung dan membelanjakan uangnya. Sebagai entitas politik, kota wajib melakukan diplomasi publik selain juga mendukung promosi produk yang dihasilkannya.(Yananda & Salamah, 2014)

Permasalahan Tentang Identitas Kota

Dalam jurnalnya tentang Identitas Kota, Fenomena dan Permasalahannya, Amar (2009) mnengungkapkan kekhawatirannya terhadap kota-kota yang mulai kehilangan identitas dan semakin asing bagi kehidupan warganya. Amar berpendapat, hilangnya identitas ini dapat disebabkan oleh kota-kota yang seharusnya mendukung pertumbuhan nilai-nilai budaya lokal justru terjebak dalam budaya massal. Selain itu, terdapat kecenderungan terjadinya perubahan ruang-ruang kota sebagai akibat dari pesatnya pembangunan fisik kota. Percepatan perubahan ruang-ruang kota secara sistematis, sangat pragmatis, dan lebih banyak berdasarakan pada pertimbangan ekonomi yang seolah telah menjadi satu-satunya paradigma dalam pengembangan kota. Apabila kecenderungan itu terus terjadi dan mencakup wilayah perkotaan yang luas, kondisi ini bukan saja akan mengubah bentuk dan wajah kota (city form and town space) dalam waktu singkat, tetapi juga  mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan kota dan terjadinya proses dehumanisasi kota.
Nia dan Sulaimen(2017) menemukan permasalahan hilangnya identitas kota terjadi karena faktor globalisasi. Globalisasi merupakan tindakan globalisasi, atau perluasan ke bagian lain atau seluruh dunia dan integrasi atau pengembangan di seluruh dunia. Sudah jelas bahwa proses globalisasi bertentangan dengan identitas budaya dan regional sebuah kota.Bahkan globalisasi mempengaruhi semua negara, sehingga hal ini membawa dampak pada kehidupan sosial dan budaya.
Adapun dalam jurnal penelitiannya Nia dan Sulaimen(2017) mengambil Kota Famagusta sebagai studi kasus. Terungkap dalam jurnalnya struktur bangunan yang tidak lagi menampilkan identitas local, dimana bangunan di kota tersebut dulunya menggunakan  Cumba. Konstruksi jalan yang dirancang dengan skala manusia berubah dengan konstruksi yang dapat dilewati oleh mobil akibatnya bentuk jalan tersebut tidak berfungsi dengan baik karena tidak dikontekstulkan dengan kondisi masyarakatnya. Selain itu terjadi perubahan terhadap fungsi ruang kota, yang harusnya menjadi tempat sosialisasi masyarakat dan untuk bersantai menjadi penyebeb hilangnya identitas kota.
Untuk menghindari agar kecenderungan pembangunan kota seperti itu tidak berlanjut, perlu dipahami dan dijelaskan kondisi factual proses perkembangan kota melalui penelusuran tatanan kehidupan kota berdasarkan apresiasi, aspirasi, kebijakan, nilainilai historis dan sosial budaya masyarakat sebagai pemaknaan identitas kota, sehingga penemuan kembali jati diri kota sebagai bagian hidup masyarakat dalam upaya pemenuhan kebutuhan warga kota dan peningkatan kualitas lingkungannya dapat dilakukan secara berkelanjutan (sustainable) atas dasar kearifankearifan tradisional (indigenous knowledge)(Amar:2009)


DAFTAR PUSTAKA


Amar. 2009. Identitas Kota, Fenomena dan Permasalahannya. Jurnal Ruang Vol. 1 No. 1 September 2009, hal 55-59.
Benwell, Bethan dan Elizabeth Stokoe. Discourse and Identity. Edinburg: Edinburg University Press
Beyhan, S. Gullin dan Ulku Celebis Gurkan. 2015. Anallysing The Relationship Between Urban Identity and Urban Transformation Implementations in Historical Process: The Case of Isparta. Vol. 9 No.1, Maret, hal. 158-180)
Branch, C. Mellville. 1995. Perencanaan Kota Komprehensif: Pengantar dan Perencanaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Budihardjo, Eko. 1997. Arsitektur dan Kota di Indonesia. Bandung: PT. Alumni.
Cheshmehzangi, Ali. 2015. Urban Identity as a Global Phenomenon: Hybridity and Contextualization of Urban Identities in the Social Environtment. Journal of Human Behavior in The Social Environtment, hal. 391-406.
Ernawati, Jenny. 2011. Faktor-faktor Pembentuk Identitas Suatu Tempat. Jurnal Local Wisdom, Vol 3 No. 2, 1-9.
Lappegard, Hauge Ashild. 2007. Identity and Place: A Critical Comparison of Three Identity Theories. Hign Beam Research
Nia & Sulaiman. 2017. Identity in Changing Context: Factors of Losing Identity in New Development Part of The City od Famagusta, North Cyprus. Vol 1, No. 2, 11-20.
Nurmandi, Ahmad. 2014. Manajemen Perkotaan. Yogyakarta:JKGS
Oktay, Derya. 2006. How Can Urban Context Maintain Uraban Identity and Sustainabiity?:Evaluations of Taormina (Sicily) and Kyrenia (North Cyprus. http://www.webjournal.unior.it
Qazimi, Shukran. 2014. Sense of Place and Identity. European Journal of Social Education and Research. Vol.1 No.1, 306-310.
Riza, Muge et. al. 2012. City Branding and Identity. Journal Elsevier Procedia Social and Behavioral Science, hal. 293-300.
Suprayoga, Gede Budi. 2008. Identitas Kota Sawahlunto Paska Kejayaan Pertambangan  Batu Bara. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. Vol. 19 No. 2 Agustus 2008, 1-21.
Yaldiz et.al. 2013. Loss Of Identity In The Process Of Change: The City of Konya- Turkey. Journal Procedia Socail and Behavioral Science. Vol 140, 221-233.
Yananda & Salamah. 2014. Branding Tempat: Membangun Kota, Kabupaten, dan Provinsi Berbasis Identitas. Jakarta: Makna Informasi.
Zahnd, Markus. 2006. Perancangan Kota Secara Terpadu. Yogyakarta: Kanisius.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANAZ KHAIRUNNAS - WIRAUSAHAWAN SUKSES

ANALISIS RENCANA STRUKTUR & POLA RUANG KOTA

Waterfront City